Pendidikan yang Memerdekakan
Sejak sebelum masa kemerdekaan, orang Manggarai sungguh memperjuangkan anak-anak untuk mengenyam pendidikan. Dengan semakin pesatnya perkembangan zaman, berbagai perubahan dalam dunia pendidikan terjadi, biaya pendidikan semakin sulit terjangkau.
Demi pendidikan anak, Orang Manggarai bergotong royong membantu membiayai pendidikan anak sampai jenjang pendidikan tinggi. Itu artinya mereka memiliki tekad yang kuat untuk mencerdaskan anak-anak bangsa sehingga hidup merdeka lahir dan bathin, bebas dari belenggu kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Budaya gotong royong dalam hidup orang Manggarai terimplisit dalam bentuk gambar lodok tadi.
Gambar Lodok (kebun berbentuk jejaring laba-laba) dalam diskusi para CGP di atas dapat dimaknai sebagai tradisi leluhur yang melekat kuat dalam sanubari dan telah membudaya dalam perilaku hidup bermasyarakat orang Manggarai.
Penulis berpendapat bahwa Lodok bagi orang Manggarai dapat dimaknai empat hal yaitu: 1) Orang Manggarai memiliki pemimpin yang adil dan bijaksana. 2) Orang Manggarai suka bermusyawarah melalui budaya ‘Lonto Leok’ atau ‘Duduk Melingkar’ untuk memecahkan berbagai persoalan. 3) Suka bergotong royong, berkolaborasi, dan berbagi. 4) Orang Manggarai suka berteman atau hidup berkelompok. Keempat hal di atas sudah ada sejak para leluhur orang Manggarai ada.
Dalam praktik pembelajaran di kelas, filosofi pendidikan orang Manggarai dalam gambar lodok di atas dapat dimaknai bahwa proses pembelajaran hendaknya berpusat pada murid.
Jejaring laba-laba sebagai kodrat si anak yang memang terbentuk sejak lahir.Si anak akan mengalami proses pendidikan dalam hidupnya mulai dari dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat. Pendidikan itu melalui proses dari yang dekat ke yang jauh, dari yang mudah ke yang sulit serta berjalan melalui alur yang benar. Praktik hidup bermusyawarah dalam budaya lonto leok, dapat diwujudkan berupa diskusi dalam proses pembelajaran di sekolah.
Lingkaran sebagai pembatas bagian luar adalah komunitas belajar atau lingkungan sekolah yang di dalamnya terdapat guru yang mendidik, mengajar, membimbing, dan membentuk karakter peserta didik.
Di sinilah filosofi pendidikan orang Manggarai diterapkan melalui 4T tadi yaitu (Toing, Toming, Titong, dan Tinu).
Apa yang dialami oleh orang Manggarai seperti diungkapkan di atas akan sangat mendukung Program ‘Merdeka Belajar’ dari Kemendikbudristek yang mengacu pada enam profil Pelajar Pancasila.
TINU, jika dilakukan oleh seorang guru berarti mengupayakan segala hal terbaik untuk anak dan masa depannya, sebab mereka adalah penghuni rumah masa depan.
Demi mencapai hal tersebut, guru harus melakukan toing, toming, dan titong terhadap anak-anak. Implementasi dari 4T di atas merupakan bentuk budaya lokal menuju profil pelajar pancasila sehingga menciptakan siswa yang merdeka dalam belajar atau pendidikan yang memerdekakan.
Pendidikan yang memerdekakan itu membentuk profil pelajar Pancasila antara lain: beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bernalar kritis, bergotong royong, kreatif, dan mandiri.***