Arti Pariwisata Holistik yang Dicetus Keuskupan Ruteng

Mgr Siprianus Hormat saat memaparkan materi Pariwisata Holistik di Aula Retret Wae Lengkas Ruteng (Ist).

Floressmart- Uskup Ruteng Mgr Siprianus Hormat menjelaskan arti Pariwisata Holistik dalam Sidang Pastoral yang digelar di Aula Retret Biara Putri Karmel Wae Lengkas Ruteng, 4-7 Januari 2022. Pariwisata Holistik didengungkan dalam moto: Berpartisipasi, Berbudaya, dan Berkelanjutan.

“Berpartisipai berarti masyarakat lokal tidak hanya menjadi penerima keuntungan pariwisata, tetapi juga terlibat aktif dalam mendesain, melaksanakan, dan mengendalikannya .Dengan itu terwujudlah keluhuran martabatnya,” tulis Uskup Ruteng dalam lembaran hasil Sidang Pastoral Pariwisata Holistik yang salinannya diterima media ini Sabtu, 8 Januari 2022.

Berbudaya, tulis Uskup  berarti menghargai dan merawat kearifan dan tradisi lokal secara inklusif, dialogal dengan budaya lain, serta lentur dalam budaya mondial.

Sementara berkelanjutan berarti ramah lingkungan menuju integritas ciptaan, sebab bumi adalah rumah kita bersama.

Baca juga  Umat Katolik Keuskupan Ruteng Berduka, Uskup Hubert Leteng Wafat

“Kami juga ingin mengelola pastoral pariwisata holistik dengan tujuh prinsip ramah berikut: ramah martabat manusia, ramah sesama, ramah budaya, ramah lingkungan, ramah nilai etis-religius, ramah keadilan dan kejujuran, dan ramah Iptek yang manusiawi,” kata Uskup.

Selain 7 ramah itu, pemimpin umat katolik untuk tiga kabupaten (Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur) ini menekan perlu penerapan prinsip operasional 7A dalam Pariwisata Holistik (atraksi, aksesibilitas, aktivitas, amenitas, akomodasi, ansiliaritas, dan akselerasi).

Kekayaan Pariwisata Manggarai Raya

Uskup Siprianus bersyukur kepada Sang Pencipta atas anugerah bumi Manggarai Raya, wilayah Keuskupan Ruteng, dengan kekayaan pariwisata yang menakjubkan.

Letak geografisnya di bagian barat Pulau Flores, daerah zamrud Katulistiwa menghadiahkannya panorama indah yang memikat untuk wisata bahari dan wisata alam daratan.

Keunikan kultur Manggarai dalam ritus, situs, dan seni menambah daya pikatnya untuk wisata kultural.

Kekayaan flora dan faunanya khususnya biawak purba Komodo menjadi magnet pariwisata yang dahsyat.

Baca juga  Uskup Ruteng Pimpin Misa Launching Pariwisata Holistik

Itulah sebabnya Presiden Jokowi telah menetapkan Labuan Bajo dan kawasan sekitarnya sebagai wilayah Pariwisata Super Premium. Semua kekayaan alam dan budaya diyakini sebagai anugerah Tuhan.

“Destinasi yang memikat membutuhkan penataan dan pengelolaan yang prima. Karena itu, kami mendorong dan mendukung Pemerintah dan semua stake holder untuk mengatur dan mengendalikan tata ruang, menyediakan akses dan konektivitas, membangun fasilitas di lokasi wisata, melatih dan menguatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang andal dan memiliki budaya kerja, ramah, melayani, dan bersih, melakukan pemasaran produk lokal dan promosi  yang integral, serta strategi pengembangan pariwisata yang kontekstual, efisien, dan efektif,” papar dia.

Peluang dan tantangan Pastoral Pariwisata

Dampak positif pariwisata dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi, mendorong perjumpaan dan dinamika sosial serta memperkaya kultur.

Pariwisata menurut Uskup Siprianus menjadi peluang emas untuk membangun kesejahteraan umum, mendorong persaudaraan, dan persatuan global dalam keunikan bangsa, suku, bahasa, dan kultur.

Baca juga  Imbauan Pastoral Sambut KTT ASEAN di Labuan Bajo

Lebih dari itu, pariwisata kiranya membangkitkan ketakjuban (sense of wonder) di hadapan alam dan kultur, yang mendorong orang memuji ciptaan (the praise of creation), mengagungkan kehidupan (the praise of life) dan memuliakan martabat dirinya (the praise of Being) (T. Aquinas) sebagai Imago Dei (Kej. 1:27).

“Pariwisata hendaknya menyapa manusia dalam keutuhannya, dalam totalitas ketubuhannya dalam relasi dirinya dan dengan alam,” tulis Uskup.

“Kami juga merasakan dampak negatif pariwisata dalam bentuk terpinggirnya (marjinalisasi) penduduk lokal, penguasaan modal oleh segelintir elit, degradasi nilai etis-spiritual, komersialisasi tubuh dan kultur, dan kerusakan lingkungan hidup,” sambungnya.

Lebih dari itu, pariwisata juga menjerumuskan orang ke dalam gaya hidup materialistis-konsumtif-hedonis dan membentuk “masyarakat pencari kenikmatan” dan bukannya “masyarakat pencari kebenaran”.

“Karena itu, kami, Gereja, berkomitmen untuk menjadi nabi yang selalu berdiri di pihak mereka yang terpinggir, miskin dan menderita serta menyuarakan keadilan, kebenaran, pinsip kesejahteraan umum, personalitas, solidaritas, dan subsidiaritas (ASG) untuk membangun pariwisata yang beradab dan manusiawi,” cetus Mgr Siprianus. (js)

Tag: