Floressmart- Ratusan warga yang tergabung dalam Kesatuan Masyarakat Racang Buka (KMRB) menghentikan proyek pembukaan jalan baru menuju hutan Bowosie, Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Labuan Bajo Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur.
Aksi blokade yang digelar Senin (25/4/2022) itu merupakan aksi kedua setelah aksi serupa yang digelar pada 21 April 2022 di lokasi yang sama. Aksi protes dilakukan demi mempertahankan tanah yang sudah digarap warga Nggorang, Lancang dan Racang selama lebih dari 30 tahun.
Di lokasi aksi massa yang terdiri dari anak-anak dan orang tua membentangkan poster-poster berisi kecaman terhadap Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BPOPLBF) yang mencaplok lahan milik warga untuk dijadikan lokasi pengembangan ekowisata.
Menurut warga, lahan garapan KMRB seluas150 hektare yang kini dikuasai oleh BPOPLBF konon merupakan pemberian Dalu Nggorang selaku pemegang hak ulayat pada tahun 1990 kepada warga Nggorang, Lancang dan Racang Buka.
Sambil memukul gong dan melantunkan lagu adat simbolisasi perlawanan, warga juga meminta Presiden Jokowi meninjau kembali Perpres pembentukan BPOPLBF karena Perpres tersebut mengandung tipu daya badan otorita. Dalam sebuah poster warga meminta tolong kepada Presiden untuk mengembalikan lahan garapan mereka.
“Bapak Jokowi, bunuh saja kami daripada perintahkan BPOLBF kuasai kebun kami. Bagaimana nasib kami dan anak-anak cucu jika tanah dikuasai BPOPLBF,” tulis warga.
Di poster berbeda, mereka menuliskan “Bunuh dan tembak saja kami Pak Jokowi”.
Dalam Perpres Nomor 32 Tahun 2018 tentang pembentukan BPOPLBF, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyerahkan lahan seluas 400 hektare atau sekitar 1,98 % dari seluruh luas kawasan hutan Bowosie yang mencapai 20.193 hektare.
Sedangkan dalam peta pengembangan pariwisata terpadu, Hutan Bowosie bakal disulap menjadi kawasan ekowisata yang dibagi dalam 4 zona meliputi zona cultural district, zona adventure district, zona wildlife district, zona leisure district dan wisata rohani.
Salah satu proyek yang telah ditenderkan yakni pembukaan jalan dari Nggorang menuju Lancang. Adapun kontraktor pemenang tender yakni PT Gunung Sahari.
Koordinator aksi, Stefanus Herson, dalam orasinya melalui pengeras suara menegaskan warga yang tergabung dalam Kesatuan Masyarakat Racang Buka kehilangan lahan lebih dari 150 hektare dari 400 hektare yang dikuasai BPOPLBF.
“Kami minta hentikan proyek ini. Ekskavator ini stop dulu. Hentikan dulu aktivitasnya. Pengerjaan tidak bisa lanjut, pemerintah pusat pemerintah daerah dan BPOPLBF dialog dulu dengan kami,” kata Stefanus Herson
Aksi protes warga akhirnya terhenti setelah Kasat Intelkam Polres Manggarai Barat, Iptu Markus Fredriko, yang datang ke lokasi lalu mengajak massa untuk berdialog dengan pihak kepolisian di Mapolres Manggarai Barat
“Saya minta perwakilan bapa mama, maksimal 10 orang untuk ke Polres. Kita sama-sama mencari jalan keluar di sana. Itu maksud kami,” pintanya.
Setelah berdiskusi, warga kemudian mengutus 6 orang perwakilan berangkat ke Polres Manggarai Barat dengan catatan, penggusuran jalan dihentikan sementara.
Data yang diterima Presiden Jokowi diduga dimanipulasi
Sementara itu pengacara pihak KMRB, Francis Dohos Dor mengatakan, wilayah Hutan Bowosie di bagian selatan digarap sejak tahun 1991 seluas 150-an hektare.
Dia menuturkan, Bupati Manggarai Barat Fidelis Pranda (2005-2010) pernah memperjuangkan lokasi tersebut menjadi pemukiman dan lahan pertanian.
Kemudian, sambung Franscis, di tengah penantian seperti apa hasil pengusulan oleh Pemkab Mabar ke Kementerian Kehutanan pada saat itu, pemerintah ternyata mengubah aturan tentang pengelolaan kawasan hutan.
Pada tanggal 17 Oktober 2014 diundangkan Peraturan Bersama (PB) 4 Menteri yakni Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014, PB.3/MENHUT-II/2014, 17.PRT/M/2014, 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan.
“Sejak saat itu warga menanti hasil kegiatan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T) oleh Tim IP4T dalam rangka penyelesaian penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan,” kata Francis.
Konflik Hutan Bowosie, kata Francis mulai menyeruak saat BPOPLBF melakukan sosialisasi Peraturan Presiden No 32 Tahun 2018 tentang Pembentukan BPOPLBF. Sosialisasi itu diadakan tahun 2020.
Dalam sosilisasi itu, warga baru tahu bahwa IP4T Hutan Bowosie dijawab pemerintah melalui SK Tata Batas Hutan Manggarai Barat Nomor 357 Tahun 2016. Hasilnya, hanya sekitar 13 hektar yang dikabulkan, yang ditetapkan menjadi wilayah Area Penggunaan Lain [APL].
“SK 357 baru diketahui tahun 2020. Masyarakat bertanya kalau memang sudah ada sejak tahun 2016 berarti status perambahnya mereka berlaku setelah SK itu keluar. Dan kalau memang keluar di tahun 2016 berarti yang 13 hektar di dalam itu secara otomatis sudah dapat sertifikatnya karena program IP4T disertai sertifikat hak milik itu hasil akhirnya sudah,” kata Francis dihubungi Senin malam.
“Kalau SK 357 sudah ada sejak tahun 2016 yang isinya bahwa Lancang dan Nggorang masuk dalam kawasan hutan maka ditangkap dong mereka. Ini aneh ini politisasi besar,” ujarnya menambahkan.
Menurut pengacara yang berkedudukan di Surabaya ini, gambaran kebijakan SK KLHK tahun 2016 berpotensi menimbulkan masalah karena data yang dilampirkan tidak sesuai fakta lapangan Hutan Bowosie.
Dia menerangkan, sebanyak 200 hektare kawasan non hutan di Bowosie yang telah digarap menjadi perkebunan dan pemukiman warga sejak tahun 1990-an datanya ditipu melalui skenario pembentukan BPOPLBF yang dimulai pada tahun 2014. Data yang dimanipulasi itu berpengaruh terhadap Perpres yang diteken Jokowi.
Dia memastikan Presiden Jokowi telah ditipu oleh tim penginput data dalam rangka pembentukan Perpres BPOPLBF seolah-olah keberadaan Hutan Bowosie tanpa masyarakat. Seharusnya, sebut dia, BPOPLBF menguasai hutan produksi seluas 200 hektar.
“Yang masih hutan itu 200 hektar dan itu idealnya untuk BPOPLBF sedangkan 200 hektar ini ditipu menjadi kawasan hutan karena ditipu seolah-olah tidak ada masyarakatnya. Prosesnya dimanipulasi itu faktanya. Yang kasihan masyarakat Lancang dan Nggorang mereka tidak pernah di dalam IP4T tapi ujug-ujug masuk dalam SK mereka punya lahan itu itu masuk kawasan hutan, dihutankan kembali dari hak milik. Lancang punya 30-an hektar yang tadinya kawasan no hutan dan bersertifikat jadi hutan dalam SK 357, aneh,” ungkap Francis.
Lebih lanjut dia berkata, SK KLHK Nomor 357 itu memiliki wujud kebijakan yang tidak konsisten dari yang sebelumnya hutan menjadi non hutan dan dari yang sebelumnya non hutan menjadi hutan disertai peningkatan status hutan dari sebelumnya hutan lindung menjadi hutan produksi.
“Lancang punya ini dari kelompok yang non hutan menjadi hutan 30 hektar. Kemudian di Nggorang yang 53 hektar menjadi hutan,” bebernya. (js)