Floressmart- Pemeritah Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur memastikan tanah seluas 16 hektare di Nanga Banda Reo tercatat sebagai aset pemda sehingga ketika pemerintah melakukan pencabutan pilar dan pagar milik okupan di lahan tersebut merupakan langkah tepat.
Sekertaris Tim Penertiban dan Pengamanan Aset Pemda Tanah Nanga Banda, Karolus Mance berkata pemerintah tidak serta merta mengklaim dan main kuasa soal Nanga Banda.
“Tidak saatnya pemerintah dia main kuasa, sudah saatnya juga pemerintah memberikan penjelasan terang benderang artinya kalau itu haknya rakyat berikan kepada rakyat dan kalau itu haknya pemerintah berikan kepada pemerintah,” ujar Karolus Mance kepada wartawan, Selasa (12/7/2022).
Dia menjelaskan, klaim memiliki 16 hektar tanah bekas penguasaan kolonila itu berdasarkan telahaan yang dibuat oleh tim penertiban aset melalui 4 kajian yakni kajian normatif, empiris, historis dan kajian pragmatis.
Kajian normatif terang Karolus Mance bahwa Nanga Banda bukan bagian dari tanah komunal adat tapi merupakan tanah negara bebas yang pasca penjajahan tidak pernah dikuasai orang perorangan maupun kelompok.
“Dan untuk menguatkan persepsi ini saya coba mendatangi tokoh-tokoh di Reo, ada toko dari Bima, Gowa, juga toko orang-orang Manggarai yang sudah ada di bawah sebelum kemerdekaan. Kemudian saya coba tanya. Menurut mereka ini apakah dikuasai oleh misalnya gendang Ruis kah, Loce, Bajak, Mahima, lalu dari jawaban-jawaban yang ada bahwa tanah Nanga Banda itu adalah tanah bebas yang tidak dikuasai boleh gendang atau ulayat tertentu,” tutur Karolus Mance.
“Setelah mereka memberi jawaban itu saya coba melihat aturan seperti apa kalau tanah bebas, kalau kita merujuk pada UU Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 dia mengatur bahwa kalau tanah itu tidak dimiliki oleh hak komunal maka itu tanah negara,” ucapnya lagi.
Lalu sambung Mance, berdasarkan penuturan dari tokoh-tokoh yang diwawancarainya menyebutkan pada zaman Belanda Nanga Banda itu merupakan lapangan terbang yang dibuat oleh Hindia Belanda untuk mereka mendaratkan pesawat perang mereka.
Bahkan menurut saksi hidup yang masih ada, sebut Mance, ketika dahulu Jepang sudah menguasai wilayah Reo, Jepang membuatkan parit-parit untuk mengantisipasi serangan tantara NIKA Belanda.
“Begini secara normatif, Nanga Banda itu dulu merupakan tanah negara bebas, lalu pada zaman kolonial aset dikuasai oleh penjajah. Dan pada saat pemebentukan pemerintah swapraja tahun 1958 otomatis aset itu menjadi hak pemerintah kabupaten,”paparnya.
Kemudian pemerintah daerah membedah riwayat kepemilikan tanah Nanga Banda melalui kajian empiris. Kajian empiris imbuh dia, berupa dokumen-dokumen yang menjamin bahwa pemerintah telah melakukan aktivitas penguasaan lokasi di Nanga Banda sekaligus untuk menguatkan kajian normatif.
Dijabarkan Mance, tahun 1985 Muhamad Marola mengajukan hak guna usaha di atas lahan Nanga Banda. Lalu tahun 1989 ada 4 orang yang melakukan okupasi, kemudian dipanggil oleh camat Reok kala itu yakni Maksi Mansur bersama-sama dengan Hamente atau Dalu yang dijabat H.Muhamad Marola saksi (saksi hidup) menyelesaikan masalah tersebut.
Mance juga meluruskan tanah milik SVD yang berada dekat dengan Nanga Banda. Dia bilang tanah tersebut bukanlah bagian dari 16 hektare tanah milik Pemda Manggarai dan tanah tersebut, sambungnya, merupakan pemberian Mori Reok yang konon datang bersama pemerintahan Hindia Belanda. Adapun keturunan langsung Mori Reok yang masih hidup yakni Mamanda dan Marola.
“Yang di SVD itu tanah yang dikuasai oleh Mori Reok keturunan keluarga Mamanda dan Marola yang mereka datang dulu bersamaan dengan pemerintah Hindia Belanda. Merekalah yang menyerahkan tanah itu ke SVD, ada berita acaranya,” papar dia.
Kemudian imbuh dia, baik Mamanda maupun Marola tidak terlibat dalam penyerahan tanah Nanga Banda ke pemerintah sebab rujukan pemerintah waktu itu yakni Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Kabupaten di mana ditegaskan bahwa dengan terbentuknya Pemerintah Kabupaten maka semua aset Pemerintahan Swapraja dengan sendirinya menjadi aset Pemerintah Kabupaten.
Setelah melengkapi kajian normatif dan empiris, Karolus Mance bersama tim penertiban aset kemudian melakukan kajian historis melalui penelusuran dengan cara mewawancarai dua tokoh yang dianggap kunci yakni Mamanda dan Marola.
“Dan dari narasi dua orang ini sama-sama mengatakan itu tanah Pemda dan mereka bilang kalau ada perkara di pengadilan kami siap menjadi saksi,” tekan Mance.
Lalu kajian yang terakhir, ungkap karolus Mance yakni kajian pragmatis dalam artian apa saja bukti eksisting milik pemerintah daerah di Nanga Banda.
Kabag Tatakelola Pemerintahan (Tapem) Setda Manggarai ini menyebut bahwa kajian pragmatis dibuktikan dengan tambak garam milik pemerintah di Nanga Banda.
“Begini ya, di tahun 2001 itu ada satu program pemerintah provinsi, zaman Pak Anton Bagul bupatinya yakni pengembangan garam yodium, yodiumisasi dan kita punya bangunan tempat jemur garam dulu dan itu masih aktif. Lalu eksisting yang berikut tahun 2019 zaman Pak Kamelus dan Pak Viktor itu kan kita bangun tribun untuk pacuan kuda. Tidak ada satupun okupan yang mengatakan itu kami punya,” bebernya.
Ketika ditanyai kenapa tidak ada kajian yuridis di dalam pengklaiman tanah Nanga Banda oleh pemerintah. Menurutnya, kajian yuridis sudah termaktub dalam UU Pokok Agraria dan UU Pembentukan Kabupaten.
“Kemarin itu ada satu diskusi dari kita termasuk Pak Bupati apakah perlu ada penyerahan hak dari tokoh-tokoh di Reo kepada pemerintah. Saya selaku Kabag Tapem memberikan masukan kepada bapak bupati dan bapak wakil saya bilang dari aspek normatif itu tidak dibenarkan karena Nanga Banda tidak pernah dikuasai oleh orang perorangan atau kelompok, wilayah ini adalah tanah negara bebas,” klaim Karolus.
Menurutnya, jika saat ini Pemda Manggarai dituntut untuk memperlihatkan sertifikat atau alas hak yang lain termasuk keputusan inkrah dari pengadilan maka dua hal itu memang belum ada.
“Untuk sertifikat 16 hektar ini mau urus sudah, kita sudah bersurat ke BPN Provinsi NTT mudah-mudahan pada anggaran perubahan sudah bisa dan untuk keputusan pengadilan ya kita tunggu perkaranya. Memang lebih bagus juga kita buktikan di pengadilan saja,” tutup Mance. (js)