Oleh : Primus Dorimulu
“… maka pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain.” (Matheus 2:12)
Dalam hidup, kita acap dihadapkan pada tantangan untuk memilih. Salah satu tantangan adalah memilih jalan lama atau memilih jalan baru.
Jalan lama tidak selamanya salah atau tidak efektif. Tapi, banyak jalan lama yang sudah terbukti tidak efektif, gagal, bahkan celaka. Menggunakan jalan lama untuk mendapatkan hasil berbeda mustahil terwujud. Kita umumnya sulit meninggalkan jalan lama dan enggan menempuh jalan baru.
Untuk bisa survive apalagi meraih masa depan lebih baik, kita harus berani mengambil risiko untuk menempuh jalan baru. Ketika jalan lama sudah pasti gagal, jalan baru harus berani ditempuh, apa pun risikonya. Memilih jalan baru hanya bisa dilakukan oleh para risk taker, mereka yang be Ranu mengambil risiko.
Tiga orang majus dari Timur diminta malaekat dalam mimpi agar merek tidak kembali menempuh jalan lama, jalan yang mereka tempuh sebelum bertemu bayi Yesus. Sebelum bertemu Yesus, mereka menemui Herodes, Raja Yehuda. Herodes saat itu kaget mendengar kabar bahwa sudah lahir raja baru. Dalam hati, dia berencana untuk melenyapkan raja baru itu. Tidak boleh raja lain selain dirinya.
Tapi, dengan cerdik, ia menyuruh ketiga orang majus ke Betlehem dan berkata, “Pergi dan selidikilah dengan teliti tentang Anak itu. Dan, kalau kamu sudah menemukan-Nya, beritahukanlah kepadaku. (Matius 2:8)
Dituntun bintang, tiga orang majus itu bertemu bayi Yesus. Mereka membawa persembahan untuk Sang Raja, yakni emas, kemenyan, dan mur. Waktu itu, usia Yesus sekitar satu tahun.
Herodes berpesan agar mereka, tiga orang majus dari Timur, kembali menemuinya setelah melihat bayi Yesus. Namun, karena mengetahui akal bulus Herodes, malaekat meminta mereka tidak bertemu Herodes. “Dan karena diperingatkan dalam mimpi, supaya jangan kembali kepada Herodes, maka pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain.”. (Matius 2:12)
Inilah pesan Natal 2022 Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI): “……pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain” (Mat. 2:12).
Jalan Baru
Menjadi satu bangsa adalah anugerah, bukan jasa kita. Jika di jalan lama, kita sesama bangsa saling gontok-gontokan, ke depan, kita mesti bersatu padu, bergandengan tangan membangun kehidupan yang lebih baik.
Jika pada masa lalu kita lebih melihat perbedaan, ke depan, kita perlu melihat persamaan. Perbedaan suku, agama, ras, dan golongan bukan alasan kita untuk tidak bekerja sama, apalagi bermusuhan.
Lebih dari itu, kita perlu melihat manusia lain sebagai sesama kita, apa pun suku bangsanya. Semua manusia di muka bumi, apa pun bangsa dan negaranya, mereka adalah sesama itu.
Cukup sudah politik identitas yang selama ini digunakan untuk menggapai kekuasaan. Identitas tidak bisa dihapus dan tidak ada masalah selama indentitas itu tidak dimanfaatkan untuk menyerang lawan politik yang berbeda identitas.
Politik identitas selama ini sudah dimasuki unsur kebencian untuk “mematikan” lawan politik. Politik identitas adalah politik pemecah-belanja bangsa.
Di jalan baru, kita berpolitik berbasis meritoktrasi. Yang dijual kepada publik adalah visi, program kerja, kinerja, integritas, kepemimpinan, dan rekam jejak. Alangkah indahnya jika kita berpolitik dengan mengedepankan meritokrasi.
Sudah lama ekonomi dibangun dengan mengeksploitasi alam. Sudah lama pula, kita hidup tanpa mengindahkan keseimbangan dengan dukungan alam. Alam dieksploitasi berlebihan dan penggunaan energi fosil melampaui batas hingga menimbulkan global warming dan climate change.
Jalan baru adalah peralihan dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT). Jalan baru adalah jalan menuju net zero emission. Isu paling mutakir bukanlah pandemi Covid-19, melainkan bumi yang kian “lelah”. Bumi yang dieksploitasi berlebihan, sehingga terjadi imbalance atau ketidakseimbangan. Bumi yang “sakit” karena ulah manusia yang rakus: lebih banyak mengambil daripada memberi. “Take, make, and waste!”
Pandemi membuka mata kita untuk memilih jalan baru, menerapkan ekonomi sirkular, yakni ekonomi yang mengedepankan tiga pendekatan, yakni “reduce, reuse and recycle”. Reduce artinya meminimalkan penggunakan sumber daya alam. Reuse artinya memaksimalkan penggunaan kembali produk yang sudah dipakai. Dan recycle artinya mengolah produk yang sudah digunakan menjadi produk bernilai tambah tinggi.
Isu penting saat ini adalah masalah “global warming”, bumi yang kian panas akibat suhu bumi yang terus meningkat. Suhu bumi meningkat akibat emisi karbon yang terus meningkat. Dampak buruk yang sudah kita alami adalah iklim yang kian ekstrem. Cerah hujan yang tinggi dan terjadinya bencana banjir dan longsor.
Merespons bumi yang lelah dan sakit, pemerintah dan dunia usaha kini berlomba menerapkan prinsip ESG: enviromental, social, and governance. Masyarakat juga didorong untuk menerapkan ESG, sebuah langkah konkret untuk mewujudkan tujuan dalam SDGs atau Sustainable Development Goals. SDGs merupakan inisiatif global yang bertujuan menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik, dalam aspek sosial dan ekonomi, serta dapat bersinergi dengan lingkungan.
Jalan baru adalah implementasi ESG di perusahaan, perkantoran, tempat hiburan, rumah, dan dalam kegiatan sehari-hari. Pandemi Covid-19 membetot kesadaran kita untuk mengambil jalan baru, mewujudkan kehidupan yang lebih sehat dan sejahtera di masa akan datang.
Pada tahun 2021, sekitar 698 juta orang atau 9% dari penduduk dunia hidup dalam kemiskinan ekstrem, yaitu hidup dengan pengeluaran kurang dari US$ 1,90 sehari. Lebih dari 1,8 miliar atau seperlima populasi global hidup di bawah garis kemiskinan, yakni pengeluaran maksimal US$ 3,20. Penduduk miskin absolut di Indonesia pada Maret 2022 sebesar 9,54% atau 26,16 juga orang.
Penduduk miskin adalah kelompok paling menderita jika terjadi kenaikan suhu ekstrem. Kelompok ini pula paling menderita jika terjadi kenaikan polisi udara. Mereka akan sangat menderia bila kondisi politik tidak stabil.
Tahun 2023 adalah tahun pemilu. Partai politik dan pasangan capres-cawapres akan bersaing. Jalan lama adalah jalan permusuhan, sedang jalan baru adalah jalan perdamaian.
Sebagai pesta demokltrasi, pemilu mestinya membuat seluruh warga berbahagia. Dalam pertandingan, lawan bukan musuh, melainkan lawan tanding. Kalah dan menang adalah konsekuensi sebuah pertandingan. Di jalan baru, orang bisa bersanding setelah bertanding demi merah-putih.
Natal tahun ini hendaknya menyanggupkan kita memilih jalan baru.
(*Penulis merupakan wartawan senior tinggal di Jakarta.