Manggarai- Revisi UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi UU Nomor 20 Tahun 2023 yang disahkan pada 3 Oktober 2023 lalu mencoret satu lembaga paling berpengaruh bernama Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Pembubaran Komisi ASN yang boleh dibilang sebagai ‘polisi-nya’ ASN bakal menyuburkan praktik politisasi birokrasi dan birokrasi berpolitik.
Padahal selama ini KASN sebagai lembaga nonstruktural yang mandiri dan bebas dari intervensi politik, berperan mengawal netralitas ASN dalam setiap hajatan politik pileg, pilpres dan pilkada.
“Menariknya sekarang komisi ASN sudah tidak ada. Di dalam undang-undang Aparatur Sipil Negara Nomor 20 tahun 2023 tidak ada lagi yang namanya komisi ASN. Makanya kita bingung apa kira-kira skenario yang akan diambil ketika ada pelanggaran netralitas ASN di pilkada serentak nanti. Lembaga yang menindaklanjuti pelanggaran itu lembaga apa,” ujar Ketua Bawaslu Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur Fortunatus Hamsa Manah saat menggelar media gathering, Senin 9 September 2024.
Pasca pembubaran Komisi ASN, kolaborasi pengawasan antara Bawaslu dan KASN sudah pasti berubah. Manakala terjadi pelanggaran netralitas ASN di pilkada serentak tahun 2024 lantas rekomendasi atas temuan pelanggaran itu akan dilaporkan kemana oleh Bawaslu?.
“Komisi ASN sudah tidak ada. Apakah dia ada di Kementerian Dalam Negeri ataukah di Kementerian Menpan RB. Ini nanti akan kami harus dapatkan informasinya. Kemungkinan kami Bawaslu kabupaten, bupati dan sekda akan diundang oleh Bawaslu RI pada tanggal 18 September di Jakarta itu membahas khusus tindak lanjut bagaimana kedepannya pelanggaran netralitas ASN pasca bubarnya KASN,” sambungnya.
Bawaslu tetap pasang badan
Disampaikan Fortunatus, meskipun Komisi ASN dihilangkan Bawaslu tetap berfokus pada tugas pencegahan pelanggaran netralitas ASN seperti yang dilakukan di pemilu serentak tahun 2024.
“Mungkin teman-teman bertanya kenapa tak ada laporan pelanggaran netralitas ASN di pemilu 2024 tetap ada temuan sampai ada pemeriksaan di bawaslu. Kita mengkaji dari sisi peran kita mencegah jangan sampai ada ASN yang terlibat politik,” terang Fortunatus.
Bawaslu, tekan Alfan, tetap ‘plototi’ ASN yang tidak netral. Dia yakin mekanisme penanganan kasus sampai pada tahap pemberian hukuman dari lembaga yang meneruskan fungsi KASN tetap sama.
“Sepanjang yang saya tahu selama komisi ASN memutuskan rekomendasi berkaitan dengan pelanggaran netralitas ASN pejabat pembina kepegawaian yakni bupati pasti menindaklanjuti karena akan ada sanksi lanjutan jika bupati tidak menindaklanjuti. Ketika Bawaslu menangani pelanggaran netralitas ASN komisi ASN bertindak tegas tidak pernah ada rekomendasi Bawaslu yang tidak ditindaklanjuti,” sebutnya.
Lebih dalam, Fortunatus mengatakan, sebelum KASN buyar, Bawaslu begitu bersemangat melakukan pencegahan pelanggaran netralitas ASN sebab ada lembaga lain yakni Komisi ASN yang diberikan kewenangan untuk memproses temuan Bawaslu sampai pada tahap dimana rekomendasi KASN dalam kasus yang dilaporkan Bawaslu benar-benar dijalankan.
“Dalam konteks pelanggaran ASN Bawaslu lebih kepada pencegahan bukan penindakan. Tetapi menariknya lagi undang-undang bilang keputusan Komisi ASN diawasi pelaksanaannya oleh Bawaslu atau pelaksanaan keputusan oleh lembaga lain diawasi oleh Bawaslu. Misalnya ada keputusan dari Komisi ASN terkait pelanggaran netralitas ASN tapi tidak dilaksanakan oleh Bupati selaku pembina kepegawaian lantas apakah Bawaslu bisa memeriksa bupatinya tidak ada kewenangan itu. Bawaslu hanya sekedar memastikan oh rekomendasinya sudah ditindaklanjuti oh belum ditindaklanjuti,” ungkapnya.
“Yang saya katakan ini ketika masih ada Komisi ASN. Lalu bagaimana ketika KASN sudah tak ada. Ya paling berharap pada kepala daerah atau sekda untuk mengantisipasi atau masyarakat yang turut mengawasi ASN jangan berpolitik,” tutur Manah.
Rawan penyalahgunaan wewenang
Ia menjelaskan, ketika ASN tidak netral, maka ada kemungkinan terjadi penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh ASN seperti menggunakan fasilitas negara, menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi dan golongannya.
“Itu kecenderungan-kecenderungan yang mungkin terjadi ada konflik kepentingan. Ada kemungkinan tindakan dari ASN yang tidak netral itu menguntungkan salah satu calon di pilkada,” tutupnya. (js)