Christian Rotok dan Tokoh Matim Berang Dengar Bukit dan Teluk Buntal Jadi Milik Ngada

Bupati Andreas Agas ketika menjelaskan perpindahan pilar di perbatasan Matim dan Ngada berdasarkan peta Kemendagri. (Photo : floressmart)

Floressmart- Kementerian Dalam Negeri menerbitkan peta yang mengatur batas baru antara Manggarai Timur dengan Kabupaten Ngada. Kabarnya, peta tersebut selanjutnya akan disahkan melalui keputusan Menteri Dalam Negeri.

Bupati Matim Andreas Agas saat menjelaskan peta tersebut kepada sejumlah tokoh Manggarai Timur, Senin (20/5) mengatakan tim pembuat peta Kemendagri memindahkan batas sejauh 1,4 kilometer ke wilayah Ngada yang meliputi perbukitan hingga ke teluk pelabuhan Kelambu.

Perubahan tapal batas ini dibeberkan pihak kemendagri saat menyampaikan hasil kajian Kemendagri atas sengkarut perbatasan Manggarai Timur dan Ngada. Rapat yang dipimpin Gubernur NTT Viktor Laiskodat ini dilasanakan pada 13 Mei 2019 di Kupang. Bupati Matim Andreas Agas dan Plt Bupati Ngada Paulus Soliwoa sama-sama menyetujui peta tersebut dengan membubuhi tanda tangan berita acara kesepakatan.

Alih-alih mengatasi masalah perbatasan, hal tersebut bukanlah merupakan kabar baik bagi publik Manggarai Timur dan Manggarai Raya umumnya. Banyak tokoh mendesak persepakatan itu dibatalkan karena sangat merugikan salah satu pihak yakni Manggarai Timur.

Tidak saja riuh di pemberitaan media, sejumlah tokoh Manggarai Timur menemui langsung Bupati Agas. Mereka yang datang hanya empat orang, yakni Christian Rotok, Frans Nahas, Frans Atom, David Sutarto serta Sensi Gatas. Mereka meminta Bupati Agas menjelaskan isi kesepakatan tersebut.

Baca juga  Deno Kamelus-Viktor Madur ke Christian Rotok, Minta Dukungan Politik?

Seperti dipantau, usai menyalami para tokoh ini, Bupati Agas langsung menjelaskan peta versi Kemendagri pada sebuah layar LCD. Pemaparan bahkan memakan waktu dua jam lebih, itu karena  fakta dan sejarah perbatasan Manggarai dan Ngada diulas kembali dari mulai sejarah peta topografi tahun 1916, 1918, keputusan tahun 1943 hingga keputusan final tentang batas wilayah yang dibuat pada tahun 1943 oleh Bupati Manggarai Frans Sales Lega dan Bupati Ngada Yan Yos Bota serta El Tari, Gubernur NTT kala itu.

Christian Rotok lantas menegaskan bahwa kesepakatan Aimere tahun 1973 oleh Bupati Manggarai Frans Sales Lega dan Bupati Ngada Yan Yos Bota merupakan keputusan final dan mengikat yang tertuang dalam  SK Gubernur Nomor 22 Tahun 1973. Oleh karena itu, segala perubahan yang dibuat di luar ketetapan itu merupakan sebuah pelanggaran yang tidak perlu dipatuhi.

Disebur Rotok, dalam setiap perdebatan menyangkut tapal batas di Elar dan Elar Selatan, argumentasi dari pihak Ngada selalu keok lantaran tidak memiliki dokumen yang sahih soal perbatasan dengan Manggarai.

“Beda dengan Manggarai, dokumennya lengkap sedangkan Ngada hanya mengandalkan dokumen pembentukan Kabupaten Ngada taqhun 1958, itu beda lagi,” katanya.

Lalu kata dia, yang dilakukan oleh Kemendagri saat ini menurutnya merupakan upaya mengaburkan fakta sejarah.

“Sekarang yang dilakukan oleh Mendagri itu apa. Di dalam kesepakatan ini kami tidak melihat mencabut SK Gubernurnya No 22 Tahun 1973. Kami berpikiran begini, apakah tanda tangannya Pak Lega dan Pak Bota dan Pak Eltari sudah tidak berlaku lagi,” kata Christian Rotok.

Baca juga  Cegah Penularan Covid-19, Obyek Wisata Manggarai Timur Ditutup

Lebih lanjut bupati Manggarai periode 2005-2015 ini mengaku bahwa fakta sejarah dan batas-batas yang telah ditetapkan 1973 sempat diutak-atik oleh pihak Ngada ketika membahas pemekaran Manggarai Timur dari Kabupaten Manggarai.

“Mendagri sebetulnya tinggal sahkan saja histori dan fakta yang kita pertahankan selama ini. Waktu membahas pemekaran Manggarai Timur kita buka diri kepada Ngada. Kami pada waktu itu mengaku bukan pelaku sejarah tetapi penerus sejarah karena itu acuan kami adalah buku sejarah, ini kami punya buku sejarah silakan kamu periksa mana kamu punya buku sejarah supaya kamu periksa sehingga keluarlah leko wase (istilah ukur Manggarai) tetapi mereka pun tidak menunjukkan kepada kita dokumen apa yang mengakibatkan mereka mengatakan mereka punya itu itukan persoalan kita ini,” urai Rotok.

Bupati Agas juga  mengakui bahwa memang ada bagian wilayah adminsitrasi Manggarai Timur yang berpindah ke wilayah Ngada. Menurut dia bagian yang bergeser hanya sepanjang 1,4 kilometer yang diukur berdasarkan foto satelit

“Perubahan terjadi di area perbukitan hingga ke lembah yang mengakibatkan pilar pertama bergeser sejauh 1,4 kilometer sementara lainnya tidak berubah masih mengikuti peta kita tahun 1973,” paparnya.

Tidak hanya terjadi pergeseran pilar di bagian utara, Bupati Matim juga menyampaikan bahwa dalam kesepakatan itu ditegaskan bahwa warga kampung Misin dan Leson Desa Wae Rasan Kecamatan Elar Selatan tetap sebagai wilayah pelayanan Kabupaten Ngada meskipun wilayah itu merupakan wilayah Manggarai Timur.

Baca juga  Rumah Sakit Tipe D akan Dibangun di Watu Nggong

Pertimbangannya, terang Agas karena memang sebanyak 70 kepala keluarga warga Misin Leson selama bertahun-tahun telah ber KTP Ngada. Sementara di Bakit hanya terdapat dua KK warga ber-KTP Manggarai Timur sementara sisanya merupakan warga dari Kabupaten Ngada.

Christian Rotok usai dijelaskan Bupati Agas, lantas mencontohkan sejumlah permukiman di Ruteng dan Borong yang memakai nama tempat asal penghuninya.

“Ini yang kita tidak setuju, kalau sikap ini diambil maka Kampung Bajawa yang ada di Ruteng harus masuk Ngada. Kalau menganut cara berpikir orang Ngada boleh tinggal di Manggarai tapi bukan ambil wilayahnya. Logika itu yang saya tidak terima,”.

“Berawal dari situ kan maka kita mekarkan daerah supaya ada pendekatan pelayanan di situ mereka memang lebih dekat ke Ngada bukan lalu ambil dengan wilayahnya , itu yang pertama, yang kedua kita tidak pernah melarang orang Bajawa punya tanah di Manggarai Timur karena tunduk pada hukum agraria kalau yang ini tunduk pada hukum administrasi Negara,” terang Rotok lagi.

Menurutnya, kesepakatan yang dicetus Kemendagri ini tidak saja bertentangan dengan ketetapan tahun 1973 juga akan melahirkan persoalan baru karena semua pihak bisa seenaknya mengutak-atik sejarah dan fakta.

“Saya kira ini belum final, bukan tidak mungkin besok-besok ketika ada pergantian pemimpin lalu beda lagi keinginan, Buntal secara keseluruhan kemudian diganggu,” cetusnya. (js)

Tag: